Menjadi pendidik (guru) sebenarnya bukanlah cita-cita utama saya. Karena sejak lulus kuliah saya berkeinginan untuk menjadi jurnalis, dan dalam hal ini, saya benar-benar ingin menjadi seorang wartawan. Hal tersebut adalah bentuk implementasi dari apa yang saya lakukan di bangku kuliah, di mana saya sudah bergelut dalam dunia tulis menulis melalui lembaga intra kampus bidang Jurnalistik. Namun, keinginan tersebut tidak terwujud lantaran orang tua menghendaki anak bungsunya ini untuk mengabdikan diri dalam dunia pendidikan sesuai dengan gelar pada ijasah yang tertulis sebagai Sarjana Pendidikan Islam.
Setelah lulus dari IAIN Walisongo pada akhir tahun 2006, sebagai bentuk bakti seorang anak kepada orang tua, akhirnya saya mencoba melamar untuk menjadi tenaga pendidik di beberapa sekolah di Kota Semarang. Ada kurang lebih 50 Sekolah Negeri baik SMP dan SMA yang saya kirimi surat lamaran. Dan sembari menunggu panggilan dari salah satu sekolah yang saya lamar, saya diajak bantu-bantu salah satu boss produk kosmetik untuk menjadi kurir. Selain itu saya juga menyibukkan diri mengisi waktu luang saya untuk menjadi operator warnet. Namun hingga sekian bulan tidak ada satupun panggilan walau hanya untuk sekedar wawancara, hehehe.
Tawaran Menjadi Guru SLB
Setelah menunggu kurang lebih 2 tahun lamanya, akhirnya pada tahun 2008 saya baru berkesempatan untuk mewujudkan harapan dari orang tua, yaitu menjadi Guru. Pada tahun ajaran baru 2008-2009 saya diterima menjadi tenaga guru di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLB N) Ungaran.
Walau jujur, saat diterima di sana sebagai guru anak berkebutuhan khusus saya masih agak ragu untuk memulai menjalaninya. Hal ini karena disiplin ilmu yang saya pelajari saat kuliah tidak pernah berhubungan langsung dengan anak-anak difabel. Namun, karena lamaran menjadi guru di sekolah reguler tidak ada yang diterima, dan kebetulan seorang teman merekomendasikan untuk melamar menjadi guru di SLB Negeri Ungaran yang memang sedang mencari guru maka hal tersebut saya lakukan.
Di sini lain, mewujudkan keinginan orangtua adalah satu bentuk bakti saya kepada orangtua saya. Perjalanan karir saya saya mulai dari sini. Cerita demi cerita datang, suka maupun duka menjadi guru ABK seakan mewarnai perjalanan hidup saya, hingga saat ini.
Guru SLB Harus Bagaimana?
Menjadi guru SLB bukanlah perkara mudah, selain harus mengajar, mendidik, membimbing anak-anak dengan berbagai macam ketunaan dan karakter yang berbeda-beda saya juga tidak memiliki sama sekali ilmu tentang anak-anak luar biasa. Karena disiplin ilmu yang saya pelajari saat kuliah adalah ilmu keguruan untuk anak-anak normal pada umumnya. Sehingga bisa dibayangkan betapa mumet dan stressnya saya ketika harus mengajar anak tunarungu, anak tuna grahita, anak tuna laras bahkan anak-anak autis.
Hari-hari saya lalui belum juga bertemu feelnya. Setelah dua minggu mengajar di SLB, saya sempat berniat untuk mengundurkan diri karena merasa tidak kuat mengajar. Saya merasa berat, saya merasa tidak sanggup, saya merasa kebingungan saat berada di dalam di kelas harus bagaimana, mau mengajar dengan metode apa dan harus bagaimana menghadapi anak-anak yang SLB tersebut.
Dengan kata lain, saya benar-benar mati gaya menghadapi anak-anak SLB utamanya saat mengajar anak tunarungu, di mana saya tidak bisa bahasa isyarat, tidak paham mereka ngomong dan mau apa, pokoknya waktu itu saya merasa ingin segera keluar dari kondisi tersbut. Dan jalan satu-satunya yang saya pikirkan adalah mengundurkan diri.
Saat lagi galau antara memilih mengundurkan diri atau tetap bertahan agar tidak membuat kecewa orang akhirnya saya berkonsultasi dengan guru senior di SLBN Ungaran, saya juga curhat dengan teman dan dosen-dosen saya saat kuliah. Ada seorang teman, guru senior yang sudah 25 tahun lebih mengajar SLB, saya berkeluh kesah bahwa saya ingin mengundurkan diri karena tidak kuat menghadapi anak-anak SLB. Saya takut saya tidak maksimal ketika saya bertahan di sana, saya juga takut berdosa dan apa yang saya lakukan malah tidak berkah lantaran saya benar-benar belum menemukan cara yang pas untuk mengajar siswa-siswa saya.
Beliau akhirnya memberikan nasehat-nasehat dan bercerita pengalaman beliau yang sudah lama mengajar di SLB. Intinya beliau berharap agar saya tetap bertahan dan tidak merasa terbebani saat mengajar di kelas karena mendidik anak SLB tidak seperti mendidik anak-anak normal di sekolah umum. Beliau menyarankan supaya saya mengajar sambil bermain, bernyayi dan bercanda agar anak-anak suka dan senang mengikuti pelajaran. Saya juga dinasihati agar mulai hari itu belajar ikhlas. Karena bila sudah ikhlas, insya Allah rasa syukur juga akan senantiasa mengikutinya.
Sejalan dengan guru senior yang saya curhati, salah satu dosen IAIN yang saya mintai pendapat juga sama. Beliau berharap saya bertahan untuk menjadi guru SLB karena tidak semua orang mau dan mampu menjadi guru anak berkebutuhan khusus. Bahkan salah satu dosen saya memberikan nasehat bijak, bahwa menjadi guru SLB merupakan ladang ibadah yang tidak setiap orang bisa melakukannya. Oleh sebab itulah bertahan dan diniati ibadah supaya berkah adalah jawaban yang saya terima dari dosen favorit saya. Saya tarik nafas panjang kemudian hela, memutuskan untuk tetap bertahan mengajar di SLB Negeri Ungaran dengan berniat dalam hati, karena Allah Lillahi Ta’alaa.
Berbagai kejadian lucu dan menjengkelkan sering kali terjadi saat saya mengajar. Salah satu ulah siswa yang membuat saya jengkel adalah saat ada siswa pipis di belakang saya dengan sengaja dan mengenai celana saya. Saya pernah dilempari sepatu, diludahi bahkan dipukuli oleh siswa. Namun, meskipun jengkel saya juga tidak memarahi mereka, saya pikir percuma juga marah sama mereka. Ya, kan?
Guru SLB Butuh Hiburan
Hingga saat ini, sudah 10 tahun lebih saya mengabdikan diri untuk mendidik anak-anak luar biasa ini. tidak memugkiri juga, rasa bosan dan capek terkadang muncul saat sedang mengajar. Saya rasa saya butuh hiburan agar kondiri hati kembali baik lagi.
Mendengarkan musik, membaca berita, nonton youtube, dan main game adalah bentuk me-time saya. Lagu-lagunya Via Vallen menjadi top play list di HP saya. Sembari mendengarkan suara Via Vallen, biasanya saya sambil ngegame Zuma dan juga ular tangga. Kedua permainan itu menjadi penghilang rasa capek dan bosan setelah mengajar.
Ngomong-ngomong soal game, sejujurnya saya ingin memiliki sebuah smartphone gaming. Apalagi setelah saya datang ke Asus Blogger Ghatering Semarang pertengahan Oktober 2018 lalu. Asus memperkenalkan salah satu produk barunya yang memang dikhususkan untuk gaming. Smartphone keluaran Asus tersebut bernama Asus ZenFone Max Pro M1. Yang menjadi keunggulan produk tersebut dibanding yang lain adalah ZenFone Max Pro M1 ini mengusung tema “Limitless Gaming”.
Kenapa harus memilih Asus ZenFone Max Pro M1 untuk bermain game?
Ada beberapa alasan kenapa saya ingin memiliki ZenFone Max Pro M1. Pertama, produk terbaru ASUS ini memiliki CPU-GPU yang sangat berkualitas sehingga membuat permainan game menjadi lebih optimal. Kedua, baterai yang tahan lama yaitu memilih kapasitas daya 5000mAh. Salah satu alasan para gamer ingin memiliki smartphone untuk gaming adalah daya baterai yang besar, sehingga tidak cepat lowbatt. Yakinlah kita akan bahagia bila kita bisa bermain game tanpa harus khawatir kehabisan baterai, dan hal itu bisa kita rasakan saat kita menggunakan ZenFone Max Pro M1.
Bermain game memang menjadi salah satu sarana saya untuk mengisi waktu kosong dan saat sedang suntuk dan bosan. Apalagi mengajar di SLB menghadapi anak-anak dengan berbagai karakter yang berbeda-beda tentu membuat saya harus bisa mengontrol diri agar tetap bisa mendidik mereka dengan sebaik-baiknya. Agar aktifitas saya tidak membosankan, boleh dong sesekali bermain game agar hidup lebih variatif. Dan saat ini sejujurnya saya ingin memiliki Asus ZenFone Max Pro M1 produksi terbaru ASUS agar saya bisa bermain game untuk me-time saya setelah pulang ngajar anak-anak SLB.
Alhamdulillah, kini saya sudah tahu solusinya, Asus Zenfone Max Pro M1 dapat merubah rasa bosan menjadi rasa bahagia. Tidak ada alasan untuk lagi untuk setengah hati mengajar anak anak yang tak berdosa itu. Saya semangat menjadi Guru SLB dan berdedikasi pada dunia pendidikan di Indonesia. Jika banyak orang merasa enggan mengajar anak-anak berkebutuhan khusus, lalu siapa kalau bukan kita?
6 komentar
Yeah asik banget Ya Bapak guru. Apalagi didukung dengan gadget yang mumpuni.
ReplySelamat hari guru pak. Gadget ini mumpuni buat sehar-hari memang, aku juga suka
ReplyLho.... 5000mAh baterai nya? Wah keren ya. Mayan banget tuh
ReplyHiburannya guru masak nge GAME. Wah ini pasti promosi ASUS yaa..
ReplyBeda sekali ya mengajar di SLB, tidak seperti anak normal pada umumnya
ReplyMas, Mas, aku kok pengen nanggap kisah dan pengalaman njenengan selama jadi guru SLB untuk konten YouTube-ku. Boleh kan ya? Btw, selamat ya dapet hape baru. Cihuyyyy!
ReplyPost a Comment