Sejak memutuskan untuk terjun di dunia pendidikan sejak 2008 yang lalu, banyak sekali ide-ide serta gagasan yang masih terkubur dalam pikiran ini. Saat pertama kali masuk di dunia pendidikan luar biasa (PLB) menjadi bagian dari sebuah lembaga pendidikan yang khusus mendidik anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus ada rasa minder bahkan terkesan takut jika tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Masih teringat dengan jelas kenangan 5 tahun yang lalu saat mengobrol ringan dengan salah satu teman guru yang sudah senior yang katanya sudah mengabdi di SLB kurang lebih 25 tahun, secara tidak sengaja ia memberikan saran yang menurutku aneh "beliu bilang : mas, ngajar di SLB kuwi rak usah neko-neko, dibuat santai saja, soalnya mau serius mendidik sebaik apapun hasilnya paling saja tetap gak bisa apa-apa mereka". Saat itu aku benar-benar kaget dnegan penjelasan tersebut dan hanya bisa tersenyum.
Saat itu aku masuk di dunia SLB dengan beberapa pengajar muda yang memiliki semangat yang tinggi, bahkan ada salah satu teman yang mengajak untuk membuat buku pegangan bagi anak auitis. Sebagai seorang yang cinta dunia tulis-menulis aku sambut dnegan gembira, tapi sayang belum sempat terlaksana niat tersebut teman itu sudah keburu mengundurkan diri karena banyak tekanan dari guru-guru senior yang gak suka dengan guru-guru muda yang lebih kretaif.
Setelah beberapa teman memutuskan untuk mengundurkan diri, aku merasa seakan tidak punya teman lagi untuk berdiskusi dan membuat rencana bagaimana bisa membuat bangga sekolah. Alih-alih senang dengan seringnya aku masuk ke media dengan tulisanku, banyak guru senior yang mencibir dan menuduh yang macam-macam terhadapku, karena seringkali tulisanku yang dimuat media adalha tulisan yang sifatnya kritikan kepada sumber daya manusia (guru) yang sebagaian besar kurang profesional dalam menjalankan tugasnya. Ternyata tulisanku membuat tersinggung guru-guru senior yang dalam realitanya memang seringkali mengabaikan tugasnya sebagai pendidik.
Padahal di sisi lain, seringkali kepala sekolahku ketika ada keperluan di dinas pendidikan Kabupaten maupun Provinsi malah sering mendapatkan ucapan selamat karena memiliki guru yang rajin menulis di media massa. Namun semua itu ternyata tidak berpengaruh bagi guru-guru yang lain, mereka tetap menganggap bahwa apa yang aku sering tulis di media dibilang malah mengkritrik teman sendiri. Padahal sejujurnya aku menulis tersebut adalah melihat fakta secara umum, dan niatku agar ada perubahan kearah yang lebih baik bagi peningkatan kualitas guru di tanah air.
Tapi apa boleh buat, apa yang kulakukan ternyata kurang dihargai teman-teman senior sehingga dalam tahun ini aku jarang menulis lagi tentang dunia pendidikan, khususnya persoalan tentang guru. Takutnya ada yang tersinggung lagi dan membuat masalah. Namun, aku lebih menulis dunia pendidikan yang fokus pada masalah lain, semisal kurikulum, siswa dan lain sebagainya.
Dan hari ini, secara tidak sengaja aku mengobrol dengan seorang guru senior pindahan dari kota Semarang pada tahun ajaran baru ini, beliau merupakan guru yang terbilang kritis. Beliau mngajak diskusi tentang banyak hal, terutama soal pengembangan diri dan soal kepenulisan. Aku merasa seakan menemukan kembali teman diskusi yang telah lama hilang. Beliau mengajak aku untuk kolaborasi dan sedikit demi sedikit membenahi keadaan yang ada di sekolah melalui media. Beliau juga ingin agar aku mengajari beliau tentang bagaimana menulis, agar ide yang selama ini ada dipikirannya bisa terpublikasikan dan diketahui masyarakat luas. Melalui obrolan singkat tersebut aku juga semakin termotivasi untuk merampungkan beberapa tugas penulisan yang masih terbengkalai terutama untuk segera menerbitkan buku.
Terima kasih pak, anda mau menjadi teman berbagi dan diskusi.
Post a Comment