A.
Pendahuluan
Modernitas atau modernity
adalah produk dari modernisasi.[1]istilah modernisasi merupakan
sebuah istilah yang kabur, yang pada abad ke -19 dan permulaan abad 20 dipakai
untuk menunjukkan pertumbuhan rasionalisme dan sekulerisme. Pada proses ini
manusia berhasil melepaskan diri dari tirani kekuasaan pemerintahan dan
belenggu takhyu.[2] Namun saat ini modernisasi lebih ditujukan
sebagai kata ganti pertumbuhan ekonomi semata, atau sebagai sinonim dari
istilah yang lebih bersifat tendensius, yaitu westernisasi.
Era modern memang banyak
memberi kemudahan dalam kehidupan ini, namun, bersamaan dengan itu, persaingan
yang ketat, ketatnya kehidupan, ataupun tawaran-tawaran yang menggiurkan
seringkali menimbulkan kegelisahan batin dan pergolakan jiwa yang mengganggu.
Kondisi ini masih ditambah oleh adanya keinginan hidup secara instan bagi
sementara orang yang berakibat pada kenekatan yang tidak masuk akal.
Gambar |
Di era sekarang, mendengar
kata tasawuf, yang terbetik dalam benak adalah sesuatu yang berat. Sesuatu yang
jauh, yang tidak terjangkau oleh akal awam kita. Berpakaian serba putih,
memelihara jenggot panjang dan menjauhi kehidupan dunia, hidup dalam kekurangan
ekonomi alias miskin dan berpakaian lusuh. Gambaran itulah yang kerap dimunculkan,
saat mendengar kata tasawuf, dan juga sufi (para pelaku tasawuf).
Ini masih ditambah lagi
dengan pernyataan-pertanyaan ganjil atau nyleneh yang seringkali susah dipahami
dan terkesan melanggar keyakinan umum kaum Muslim. Seperti ucapan Al Hajjaj dan
Ba Yazid Al-Busthami, misalnya `’Akulah Sang Kebenaran” (ana Al-Haqq)
atau `’Tak ada apapun dalam jubah-yang dipakai oleh Busthami-selain Allah.”
Lalu, bagaimana dengan
pengalaman spiritual seseorang yang merasa dekat dengan Allah SWT sehingga
mengaku bertemu Malaikat Jibril pada masa modern saat ini? Mendapat wahyu
ataupun hal-hal gaib, pengalaman yang tak dialami oleh orang kebanyakan. Apakah
dia juga sufi dan merupakan hasil dari menekuni jalan tasawuf?
Pengembaraan spiritual
melalui konsep tasawuf tentu tidak selalu dilakukan dengan menjauhi materi
keduniaan, tetapi untuk zaman modern ini orientasi kesufian lebih diarahkan
untuk dapat berkembang seiring dengan modernitas. Di sini, misalnya, pengertian
zuhud tidak diasosiasikan dengan mengasingkan diri dari keramaian agar jauh
dari keduniaan, tetapi penyucian diri bagi setiap orang yang terlibat dan turut
mengalami dinamika dunia modern. Dengan demikian, bertasawuf di zaman modern
ialah upaya penghadiran nilai-nilai Ilahiyah ke dalam dirinya yang memancar
dalam bentuk perilaku positif dan bermanfaat bagi sesama.
B.
Pembahasan
Sebagai “doktrin dan
peradaban”, dalam sejarah formatifme Islam tidak hanya melahirkan dan
mengembangkan praktik ibadah saja. Akan tetapi lebih dari itu, dari kandungan
agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw. ini juga lahir pelbagai aspek berupa
peradaban yang dicirikan oleh keunggulan pada zamannya--maupun cabang-cabang
keilmuan tradisional seperti filsafat, tasawuf, fikih dan sebagainya. Dan saat
ini salah satu hal yang sedang gemar dicari adalah mengenai nuansa spiritual
yang bisa menjadikan kehidupan ini lebih harmonis, melalui jalan bertasawuf .
1.
Tentang Tasawuf
a)
Pengertian Tasawuf
Kata “Shufi” berasal dari
bahasa Yunani “Shufiya” yang artinya: hikmah. Ada pendapat lain yang mengatakan
bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” (kain wol)
dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu selalu
diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan bahwa memakai pakaian
wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al Masih ‘alaihi
sallam.[3]
Secara etimologis, arti
tasawuf hingga saat ini masih diperselisihkan oleh para ahli kerena perbedaan
mereka memandang asal-usul kata tersebut. [4] namun, dari berbagai kajian
ilmiah , terbukti bahwa diantara berbagai pendapat tentang asal kata tasawuf,
yang paling tepat dan paling sering digunakan adalah bahwa tasawuf atau shufi
berasal dari kata shuf atau bulu domba, pendapat ini diantaranya
dikatakan oleh al Sarraj al Thusi dalam sebuah karyanya al Luma.[5]
Sedangkan secara terminologis
(istilah) kata tasawuf juga didefinisakan dengan berbeda oleh masing-masing
ahli. Namun dalam bukunya abu Wafa menjelaskan bahwa sesungguhnya pengertian
tasawuf secara terminologis adalah sebagai berikut:
“Tasawuf atau mistisisme adalah falsafah
hidup yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seorang manusia secara moral,
lewat latihan-latihan praktis yang tertentu, kadang untuk menyatakan pemenuhan
fana dalam realitas yang tertinggi serta pengetahuan tentangNya secara intuitif,
tidak secara rasional, yang buahnya ialah kebahagiaan rohaniah yang hakekat
realitasnya sulit diungkapkan dengan kata-kata sebab karakternya bercorak
intuitif dan subyektif”.[6]
Lebih lanjut menurut Abu
wafa, tasawuf dalam Islam selalu mengandung satu asas yang tidak
diperselisihkan, yaitu moralitas yang berdasarkan Islam. Dengan demikian
tasawuf juga berarti semangat Islam, karena semua hokum Islam berlandaskan
landasan moral. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa sesungguhnya tasawuf lebih
beroreinetasi pada bagaimana seseorang yang
telah memilih jalan tersebut akan dapat berperilaku dengan baik dalam
kehidupan bermasyarakat.
b)
Perkembangan Tasawuf
Sejarah tasawuf dimulai
dengan Imam Ja’far Al Shadiq ibn Muhamad Bagir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain
ibn Ali ibn Abi Thalib. Imam Ja’far juga dianggap sebagai guru dari keempat
imam Ahlulsunah yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i dan Ibn Hanbal.
Ucapan – ucapan Imam Ja’far
banyak disebutkan oleh para sufi seperti Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al Mishri,
Jabir ibn Hayyan dan Al Hallaj. Diantara imam mazhab di kalangan Ahlulsunah,
Imam Maliki yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far. Kaitan Imam
Ja’far dengan tasawuf, terlihat dari silsilah tarekat, seperti Naqsyabandiyah
yang berujung pada Sayyidina Abubakar Al Shidiq ataupun yang berujung pada Imam
Ali selalu melewati Imam Ja’far.
Kakek buyut Imam Ja’far,
dikenal mempunyai sifat dan sikap sebagai sufi. Bahkan (meski sulit untuk
dibenarkan) beberapa ahli menyebutkan Hasan Al Bashri, sufi-zahid pertama
sebagai murid Imam Ali. Sedangkan Ali Zainal Abidin (Ayah Imam Ja’far) dikenal
dengan ungkapan-ungkapan cintanya kepada Allah yang tercermin pada do’anya yang
berjudul “Al Shahifah Al Sajadiyyah”.
Tasawuf lahir dan berkembang
sebagai suatu disiplin ilmu sejak abad k-2 H, lewat pribadi Hasan Al Bashri,
Sufyan Al Tsauri, Al Harits ibn Asad Al Muhasibi, Ba Yazid Al Busthami. Tasawuf
tidak pernah bebas dari kritikan dari para ulama (ahli fiqh, hadis dll).
Praktik – praktik tasawuf dimulai dari pusat kelahiran dan penyiaran agama
Islam yaitu Makkah dan Madinah, jika kita lihat dari domisili tokoh-tokoh
perintis yang disebutkan di atas.
Formulasi konsep-konsep
dalam dunia tasawuf mulai nampak sejak abad ke-3 dan ke-4 H. Ini diawali dengan
semakin banyaknya orang yang mempraktikkan jalan sufi yang di dalamnya mereka
mendapat pengalaman keagamaan (religious experience) yang beraneka
ragam. Pengalaman keagamaan itu bahkan ada yang dinilai telah keluar dari
ortodoksi Islam oleh para ulama biasanya terdiri dari kalangan ahli fiqih.
Dari sinilah kemudian muncul
“perdebatan” bahkan “pertentangan” antara sufisme dan syariah yang dalam
sejarahnya Islam selain telah menhabiskan energi para ulama untuk
mendamaikannya, juga telah menelan korban di kalangan para sufi sebagai martir dalam
literatur Barat, mereka dikenal dengan sebutan “sufi martir”. Di antara
mereka yang populer adalah al-Hallaj, Suhrawardi (w. 587/1191), dan Ain Qudhat.
Dan setelah itulah muncul para tokoh sufi dengan berbagai aliran dan
kepercayaan masing-masing yang mewarnai dunia Islam hingga sekarang ini.
Pertumbuhan dan perkembangan
tasawuf di dunia Islam dapat dikelompokan ke dalam beberapa tahap :
1.
Tahap Zuhud (Asketisme)
Tahap awal perkembangan
tasawuf dimulai pada akhir abad ke-1H sampai kurang lebih abad ke-2H. Gerakan
zuhud pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan Basrah kemudian menyebar ke
Khurasan dan Mesir. Awalnya merupakan respon terhadap gaya hidup mewah para
pembesar negara akibat dari perolehan kekayaan melimpah setelah Islam mengalami
perluasan wilayah ke Suriah, Mesir, Mesopotamia dan Persia.
Zuhud merupakan sebuah sikap
sederhana dalam kehidupan berdasarkan motif agama. Zuhud di yakini akan dapat
menanggulangi sifat at tama’ dan sifat al hirs, al hasad, takabur, dan
lain sebagainya. Imam Ahmad bin Hambal menyebutkan tiga tahapan dalam zuhud,
yaitu:
a.
Pertama, Zuhud dalam arti meninggalkan
yang haram, ini merupakan zuhudnya orang awam
b.
Kedua, zuhud dalam arti meninggalkan
hal-hal yang berlebih-lebihan dalam perkara yang halal, ini merupakan zuhudnya
orang khawas (istimewa)
c.
Ketiga, zuhud dalam arti meninggalkan apa
saja yang memalingkan diri dari Allah SWT, ini adalah zuhudnya orang arif
(orang yang telah mengenal Tuhan).[7]
Banyak sekali manfaat yang
bisa diambil ketika seseorang telah bisa melaksanakan zuhud dengan benar. Zuhud
akan melahirkan sikap menahan diri dan memanfaatkan harta untuk kepentingan
produktif. Zuhud mendorong untuk mengubah harta bukan hanya saja asset ilahiyah
yang mempunyai tanggungjawab pengawasan aktif terhadap pemanfaatan harta dalam
masyarakat.[8]
Dalam hal ini zuhu dapat
dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam diri terutama dalam
menghadapi gemerlapnya dunia materi saat ini. Dengan berzuhud juga akan
menimbulkan sifat positif lainnya seperti qonaah (menerima apa adanya
yang telah dimilikinya), tawakal (pasrah diri kepada Allah), wara/wira’i
(yaitu menjaga diri agar jangan
sampai makan barang yang meragukan/syubhat, sabar (yakni tabah
menerima keadaan dirinya, baik keadaan itu menyenangkan, menyusahkan, dan sebagainya),
syukur (yakni menerima nikmat dengan hati lapang, dan mempergunakan
sesuai dengan fungsi dan proporsinya.
Tokoh-tokoh asketisme
(zuhud) menurut tempat dan perkembangannya adalah sebagai berikut:
v
Madinah
Dari
kalangan sahabat Nabi Muhammad Saw, Abu Ubaidah Al Jarrah (w. 18 H); Abu Dzar
Al Ghiffari (W. 22 H); Salman Al Farisi (W.32 H); Abdullah ibn Mas’ud (w. 33
H); sedangkan dari kalangan satu genarasi setelah masa Nabi (Tabi’în)
diantaranya, Said ibn Musayyab (w. 91 H); dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H).
v Basrah
Hasan
Al Bashri (w. 110 H); Malik ibn Dinar (w. 131 H); Fadhl Al Raqqasyi, Kahmas ibn
Al Hadan Al Qais (w. 149 H); Shalih Al Murri dan Abul Wahid ibn Zaid (w. 171 H)
v
Kufah
Al
Rabi ibn Khasim (w. 96 H); Said ibn Jubair (w. 96 H); Thawus ibn Kisan (w. 106
H); Sufyan Al Tsauri (w.161 H); Al Laits ibn Said (w. 175 H); Sufyan ibn
Uyainah (w. 198 H).
v
Mesir
Salim
ibn Attar Al Tajibi (W. 75H); Abdurrahman Al Hujairah ( w. 83 H); Nafi, hamba
sahaya Abdullah ibn Umar (w. 171 H).
Pada masa-masa terakhir tahap ini, muncul
tokoh-tokoh yang dikenal sebagai sufi sejati, diantaranya, Ibrahim ibn Adham
(w. 161 H); Fudhail ibn Iyadh (w. 187 H); Dawud Al Tha’i (w. 165 H) dan Rabi’ah
Al Adawiyyah.
2. Tahap Tasawuf (abad ke 3 dan 4 H )
Paruh pertama pada abad ke-3 H, wacana tentang
Zuhud digantikan dengan tasawuf. Ajaran para sufi tidak lagi terbatas pada amaliyah (aspek praktis),
berupa penanaman akhlak, tetapi sudah masuk ke aspek teoritis (nazhari) dengan
memperkenalkan konsep-konsep dan terminology baru yang sebelumnya tidak dikenal
seperti, maqam, hâl, ma’rifah, tauhid (dalam makna tasawuf yang khas); fana,
hulul dan lain- lain.
Tokoh-tokohnya, Ma’ruf Al Kharkhi (w. 200 H), Abu
Sulaiman Al Darani (w. 254 H), Dzul Nun Al Mishri (w. 254 H) dan Junaid Al
Baghdadi. Muncul pula karya-karya tulis yang membahas tasawuf secara teoritis,
termasuk karya Al Harits ibn Asad Al Muhasibi (w. 243 H); Abu Said Al Kharraz
(w. 279 H); Al Hakim Al Tirmidzi (w. 285 H) dan Junaid Al Baghdadi (w. 294 H)
Pada masa tahap tasawuf, muncul para sufi yang
mempromosikan tasawuf yang berorientasi pada “kemabukan” (sukr), antara lain Al
Hallaj dan Ba Yazid Al Busthami, yang bercirikan pada ungkapan – ungkapam
ganjil yang sering kali sulit untuk dipahami dan terkesan melanggar keyakinan
umum kaum muslim, seperti “Akulah kebenaran” (Ana Al Haqq) atau “Tak ada apapun
dalam jubah-yang dipakai oleh Busthami selain Allah” (mâ fill jubbah illâ
Allâh), kalau di Indonesia dikenal dengan Syekh Siti Jenar dengan ungkapannya
“Tiada Tuhan selain Aku”.
3. Tahap Tasawuf Falsafi (Abad ke 6 H)
Pada tahap ini, tasawuf falsafi merupakan
perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara
rasional-filosofis. Ibn Arabi merupakan tokoh utama aliran ini, disamping juga
Al Qunawi, muridnya. Sebagian ahli juga memasukan Al Hallaj dan Abu (Ba) Yazid
Al Busthami dalam aliran ini.
Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfân
(Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis)
tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.
4. Tahap Tarekat ( Abad ke-7 H dan seterusnya
)
Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya, seperti tarekat Junaidiyyah
yang didirikan oleh Abu Al Qasim Al Juanid Al Baghdadi (w. 297 H) atau Nuriyyah
yang didirikan oleh Abu Hasan Ibn Muhammad Nuri (w. 295 H), baru pada masa-masa
ini tarekat berkembang dengan pesat.
Seperti tarekat Qadiriyyah yang didirikan
oleh Abdul Qadir Al Jilani (w. 561 H) dari Jilan (Wilayah Iran sekarang);
Tarekat Rifa’iyyah didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H) dan tarekat
Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Najib Al Suhrawardi (w. 563 H). Tarekat
Naqsabandiyah yang memiliki pengikut paling luas, tarekat ini sekarang telah
memiliki banyak variasi , pada mulanya didirikan di Bukhara oleh Muhammad
Bahauddin Al Uwaisi Al Bukhari Naqsyabandi.[9]
2.
Tasawuf Modern
Masyarakat modern adalah
masyarakat yang cenderung sekuler, hubungan masyarakat tidak lagi didasarkan
atas prinsip dan tradisi persaudaraan, tetapi lebih pada prinsip-prinsip
fungsional pragmatis. Masyarakat seakan merasa bebas dan terlepas dari control
agama dan pandangan dunia metafisis, ciri-ciri yang lain adalah penghilangan
nilai-nilai sacral terhadap dunia, meletakkan hidup manusia dalam konteks
kenyataan sejarah, dan penisbiaan nilai-nilai.
Masyarakat modern yang
memiliki cirri tersebut ternyata menyimpan problema hidup yang sulit
dipecahkan. Rasionalisme, sekulerisme, materialisme, dan lain sebagainya tidak
menambah kebahagiaan dan ketentraman hidupnya akan tetapi sebaliknya,
menimbulkan kegelisahan hidup yang amat menyiksa.
Hossein Naser mneyatakan
bahwa akibat masyarakat modern yang mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan
teknologi berada dalam wilayah pinggiran eksistensi sendiri, bergerak menjauh
dari pusat, sementara pemahaman agama yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan
hidap dalam keadaan sekular.[10]
Dari sanalah kemduian
terjadi suatu kekeringan jiwa yang dirasakan oleh masyarakat modern. Mereka
kemudian berlomba-lomba mencari ketenangan batin dan jiwa dari kekeringan. Dan
jalan spiritual lah yang kemudian dapat membawa satu keseimbangan dalam hidup
mereka, sehingga lambat laun tasawuf sebagai salah satu jalan agama yang
dapat membawa kepada Tuhan menjadi salah satu pilihan utama untuk lebih dapat
mendekatkan diri kepada Allah, dengan harapan agar diberikan ketenangan rohani.
Sehingga dapat dikatakan
bahwa sufi di zaman modern ialah orang yang mampu menghadirkan ke dalam dirinya
nilai-nilai Ilahiyah yang memancar dalam bentuk perilaku yang baik dan
menyinari kehidupan sesama manusia. Inilah makna hadis Rasulullah Saw.,
khairunnas anfauhum linnas, bahwa sebaik-baik manusia ialah manusia yang
bermanfaat bagi sesama manusia.
Kesan bahwa sufi harus
menjauhkan diri dari masyarakat (uzlah) dan sibuk dengan ibadahnya sendiri,
seperti yang digambarkan oleh para pihak, bahwa untuk mengamalkan praktik
kesufian hanyalah dengan penyendirian dengan tujuan menyatu dengan Tuhan,
tampaknya merupakan hal yang kurang relevan dengan modernitas yang mengharuskan
adanya hubungan antar pribadi dan kelompok manusia dalam membangun peradaban
modern yang cirinya adalah pemanfaatan iptek dan pendayagunaan sumberdaya
secara maksimal serta kemakmuran kehidupan.
Untuk itu, diperlukan
orientasi baru berupa penghadiran nilai-nilai Ilahi dalam perilaku keseharian
manusia modern, sehingga peran agama yang menghendaki kesucian moral tetap
terasa sangat perlu. Hal ini berarti, pengamalan ajaran agama tidak cukup jika
hanya bersifat rasional dan formal tanpa kesadaran batiniyah yang mendalam,
sehingga setiap muslim dapat merasakan nikmatnya beragama, yang di dalamnya terkandung
kecintaan kepada Tuhan sekaligus kecintaan kepada sesama manusia dan sesama
makhluk.
Untuk itu, tasawuf di abad
modern tidak lagi berorientasi murni kefanaan untuk menyatu dengan Tuhan,
tetapi juga pemenuhan tanggung jawab manusia sebagai khalifah Tuhan yang harus
memperbaiki dirinya dan sesama makhluk. Dengan kata lain, tasawuf tidak hanya memuat dimensi kefanaan yang bersifat
teofani, tetapi juga berdimensi profan yang di dalamnya terdapat kepentingan
sesama manusia yang mendunia.
Inti dari ketertarikan manusia modern kepada dunia
spiritual (tasawuf) pada dasarnya ingin mencari keseimbangan baru dalam
hidupnya, dan dalam pandangan yang agak eksistensialis, ingin kembali kepada
kemerdekaan manusia yang telah mengalami reduksionisasi dalam kehidupan modern.
Kehidupan dengan perspektif tersebut dapat dicapai apabila manusia senantiasa
melakukan transendensi terus-menerus.[11]
C.
Kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas
dapat ditarik kesimpulan antara lain sebagai berikut:
1.
Tasawuf atau mistisisme adalah falsafah hidup
yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seorang manusia secara moral, lewat
latihan-latihan praktis yang tertentu, kadang untuk menyatakan pemenuhan fana
dalam realitas yang tertinggi serta pengetahuan tentangNya secara intuitif,
tidak secara rasional, yang buahnya ialah kebahagiaan rohaniah yang hakekat
realitasnya sulit diungkapkan dengan kata-kata sebab karakternya bercorak
intuitif dan subyektif
2.
Tahap pertumbuhan dan perkembangan tasawuf
antara lain melewati beberapa tahap: tahap zuhud (asketisme), tasawuf abad 3-4
H, tasawuf falsafi abad 6 H, tasawuf tarekat abad ke 7 dan seterusnya
3.
Tasawuf (sufi) di zaman modern ialah orang yang
mampu menghadirkan ke dalam dirinya nilai-nilai Ilahiyah yang memancar dalam
bentuk perilaku yang baik dan menyinari kehidupan sesama manusia.
D.
Penutup
Demikianlah makalah inidi
buat, penulis yakin makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan karena keterbatasan imu yang penulis miliki. Untuk itulah
saran serta kritik yang membangun senantiasa penulis harapkan. Dan terakhir
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya
bagi pembaca sekalian, amien.
[1]
Latar belakang dan basis filosofis masyarakat modern ditinjau secara
histories-filosofis dari sejak peradaban Yunani purba, percampuran dengan Islam
hingga pengkooptasiannya oleh masyarakat modern Eropa, dapat dibaca lebih
lanjut dalam tulisan Simuh, Islam dan Masyarakat <odern, dalam Tasawuf
dan Krisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm 3-14
[2]
Myron Weiner, Modernisasi Dinamika Pertumbuhan, (Yogyakarta: Gajahmada
University Press, 1994), hlm. iii
[3] Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali, “Haqiqat
Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab was Sunnah”, hlm 13.
[4]
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2003), hlm. 73. Menurut pendapat para ahli dikatakan bahwa asal kata
tasawuf adalah (1) saff : barisan, (2) saufanah: sejenis
buah-buahan kecil berbulu, (3) Suffah: pelana untuk bantal tidur, (4) safwah:
sesuatu yang terbaik, (5) safa atau sawf: bersih atau suci, (6) theosofia:
hikmah ketuhanan, dan (7) suf: wol atau bulu kasar
[5]
Abu Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung:
Pustaka, 1985), hlm. 21
[6] Ibid, hlm 6
[7]
Ibnu Qoyyim al Jauziyah, Madarij al Salikin, Jilid II, Edisi Muhammad
Hamid al Faqi, (Dar al Rasyad wa al Hadits, tt) hlm. 12
[8]
Jaladudin rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1986), hlm 100
[9] http://forum.dudung.net/index.php?topic=10429.0
[10]
Komarudin Hidayat, Upaya Pembebasan Manusia; Tinjauan Sufistik Terhadap
Manusia Modern menurut Hossein Nasr” Dalam M Dawam Rahardjo (ed) Insan
Kamil, (Jakarta: Grafiti Press, 1985), hlm184.
[11]
Syamsul Arifin, Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan,(Yogyakarta:
Sipress, 1996), hlm. 9.
Post a Comment