Aksi kekerasan yang dilakukan oleh siswa kembali terjadi, kali ini
terjadi di Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota Semarang. Kelompok yang
menamakan diri sebagai Smaga Security Club (SSC) melakukan tindakan kekerasan
terhadap juniornya dengan tujuan untuk melakukan rekruitmen anggota baru
kelompok tersebut. Apapun namanya, kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah
tidak dibenarkan, apalagi dilakukan oleh siswa yang kepada siswa lainnya.
Aksi kekerasan yang dilakukan oleh siswa diatas semakin menambah daftar
panjang kasus kekerasan yang melibatkan siswa, baik sebagai pelaku maupun
korban. Bahkan Hasil riset dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
menunjukkan hasil yang cukup tidak terduga, dimana hampir 87,6 persen responden
(siswa) mengaku pernah mengalami tindak kekerasan di sekolah dalam berbagai
bentuk (SM, 14/09/12).
Merujuk pada hasil riset dari KPAI tersebut menunjukkan bahwa sekolah
hingga detik ini belum bisa menjadi tempat yang ramah bagi anak (siswa). Karena,
meskipun disebut sebagai lembaga pendidikan, akan tetapi kekerasan justru
sering lahir dari tempat ini. Hal tersebut tentu sangat kontraproduktif dengan makna
sekolah itu sendiri, yaitu sebagai tempat untuk belajar, bukan tempat untuk
melakukan kekerasan.
Sekolah seharusnya menjadi tempat yang begitu menyenangkan bagi anak,
karena di lembaga pendidikan inilah anak-anak akan di didik untuk saling
mengenal, menyayangi satu dengan yang lain bukan untuk bermusuhan atau saling
menindas. Dalam hal ini siswa senior harus dapat membimbing dan mengarahkan
juniornya menjadi lebih baik. Sebaliknya siswa junior juga harus bisa
menghargai dan menghormati seniornya. Disinilah peran guru sangat menentukan
dalam menciptakan keharmonisan hubungan antar siswa tersebut.
Aspek Dasar
Untuk memutus mata rantai kekerasan di sekolah, maka setiap sekolah harus
memiliki komitmen untuk menjadi sekolah yang ramah kepada anak. Apa yang
dilakukan oleh Yayasan Muhammadiyah di kota Solo dengan menjadikan delapan sekolah
dari tingkat TK/PAUD dan SD menjadi pelopor pendidikan ramah anak atau Child
Friendly School (CFS) patut di contoh
(SM, 06/09/12). Program SFS tersebut menekankan agar sekolah menjamin hak-hak
yang harus di dapatkan oleh anak sebagaimana yang tekah disepakat dalam Konvensi
Hak Anak dari PBB.
Paling tidak ada tiga aspek dasar yang harus dipenuhi oleh sekolah kepada
anak, yaitu hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, mendapatkan keamanan
dan kenyamanan dalam belajar, serta kebebasan dalam berpendapat. Hak-hak tersebut
harus dipenuhi oleh pihak sekolah jika ingin disebut sebagai sekolah yang ramah
anak.
Pertama, seorang anak harus
mendapatakan pendidikan yang layak, artinya semua siswa yang bersekolah harus
mendapatkan pendidikan yang bermutu tanpa adanya diskriminasi. Selain itu,
setiap anak juga harus mendapatkan fasilitas yang sama ketika belajar di
sekolah. Kedua, di sekolah setiap
siswa berhak untuk belajar dengan aman dan nyaman. Maraknya kasus bullying (kekerasan) yang dilakukan oleh
senior kepada juniornya, atau bahkan kekerasan yang dilakukan oleh guru
terhadap siswa jelas akan mengakibatkan siswa menjadi tidak aman dan kurang
nyaman dalam belajar.
Ketiga, hak untuk berpendapat.
Sekolah seharusnya menjadi tempat untuk melatih siswa agar berpikir kritis.
Untuk mewujudkan hal itu, maka mekanisme proses pembelajaran yang awalnya hanya
bersifat teacher center (berpusat
pada guru) harus diubah menjadi student
center (berpusat pada siswa). Ketiga hal diatas harus diberikan sekolah
kepada anak, karena itu adalah hak mereka.
Post a Comment