Dehumanisasi
saat ini merupakan salah satu masalah mendasar yang sering terjadi dalam dunia pendidikan
nasional. Dalam praksisnya sistem pendidikan Indonesia saat ini kurang menghormati
dan menghargai martabat peserta didik dengan segala hak asasinya. Akibatnya,
peserta didik seringkali tidak bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya
dengan maksimal. Mereka justru menjadi korban dalam sebuah sistem yang memaksa
mereka mengikuti aturan dalam sistem tersebut.
Kasus
MuhammadReynaldi, seorang siswa kelas 4 SD yang harus mengulang dari kelas 1 di SD
Taeng-Taeng, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan karena rapornya hilang adalah
salah satu bukti nyata betapa sekolah sebagai lembaga pendidikan belum mampu
berperan dalam menanamkan nilai-nilai humanisme. Bahkan sebaliknya, sekolah
dengan sistem yang dimilikinya dengan sangat kejam telah merenggut hak-hak yang seharusnya diterima oleh peserta didik.
Sekolah Dasar |
Kasus
yang dialami oleh Muhammad Reynaldi merupakan salah satu kasus dehumanisasi
pendidikan yang tergolong unik dan tidak masuk akal. Betapa tidak siswa yang
seharusnya sudah duduk di kelas 1 SMP, saat ini harus duduk di kelas 4 SD
karena pada tahun 2010 saat kenaikan kelas 5 rapornya hilang sehingga dia terpaksa
mengulang kembali mulai dari kelas 1 meskipun itu dilakukan di sekolah yang baru.
Paling
tidak ada dua akibat yang muncul dari kasus tersebut, pertama dapat menurunkan
mental dan semangat belajar siswa yang bersangkutan karena dia pasti menanggung rasa malu karena
harus mengulang belajar kemabali mulai dari kelas 1. Kedua, menghilangkan
kesempatan siswa yang bersangkutan untuk
mengembangkan segala potensi akademik maupun potensi lain yang dimilikinya.
Kasus
dehumanisasi yang menimpa Reynaldi memang bisa dikatakan sebagai kejadian yang
unik, aneh sekaligus tidak masuk akal. Unik karena merupakan satu-satunya kasus
dan baru terjadi pertama kali. Aneh karena pihak sekolah tidak memiliki data-data
lengkap tentang siswa dan hasil belajar siswa yang bersangkutan padahal setiap
sekolah jelas memiliki buku induk siswa. Tidak masuk akal karena sanksi yang
diberikan kepada siswa yang rapornya hilang adalah dengan mengulang belajar dari
kelas 1.
Penzaliman
yang dilakukan kepada Reynaldi oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab
tesebut jelas membuktikan bahwa lembaga sekolah belum mampu menjalankan
perannya sebagai lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai tempat belajar,
sebagai wahana untuk mengembangkan potensi peserta didik sekaligus sebagai
tempat untuk menanamkan nilai-nilai karakter yang salah satunya adalah
nilai-nilai humanisme. Kesalahan yang dilakukan oleh siswa seharusnya disikapi
dengan arif dan bijaksana, bukan dengan cara-cara yang tidak humanis.
Mensikapi
persoalan tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) seharusnya
bertindak tegas dengan cara memberikan sanksi kepada SD KIP Bara-Baraya, SD Taeng-Taeng serta kepada
dinas Pendidikan Kabupaten Gowa karena telah melakukan kesalahan fatal yaitu membiarkan
kasus yang menimpa Reynaldi terjadi. Kedepan kasus serupa tidak boleh terjadi,
karena sekolah bukan tempat untuk menghukum siswa melainkan sebagai tempat
untuk mendidik mereka menjadi manusia yang bisa menghargai hak asasi orang
lain.
Post a Comment