Bagi masyarakat Jawa, bulan Sya’ban atau Ruwah dianggap
sebagai bulan yang istimewa, karena pada bulan inilah kegiatan tahunan yang
bernama nyadran dilakukan. Dikatakan istimewa karena hanya pada bulan inilah biasanya
masyarakat Jawa secara khusus melaksanakan ziarah kubur secara bersama-sama.
Dan hanya pada bulan Ruwah masyarakat Jawa yang merantau menyempatkan diri
untuk mudik dalam rangka menziarahi makam para leluhur.
Gambar disini |
Nyadran konon berasal dari kata Sraddha.
Dalam Kamus Jawa Kuna (Kawi)-Indonesia karya L. Mardiwarsito (1985),
kata Sraddha memiliki dua makna. Arti yang pertama adalah “kurban”,
sedangkan arti lainnya adalah upacara pemakaman kedua kalinya (diselenggarakan
12 tahun kemudian sesudah meninggalnya seseorang). Dari sana dapat diambil
kesimpulan bahwa nyadran merupakan satu proses upacara kurban untuk menghormati
seseorang yang sudah meninggal.
Tradisi nyadran merupakan
simbol refleksi sosial-keagamaan masyarakat
Jawa. Hal ini memiliki nilai filosofis adanya hubungan seseorang dengan para leluhur, sesama manusia,
dan juga hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Nyadran merupakan sebuah pola
ritual yang di dalamnya terdapat akulturasi antara budaya lokal dan nilai-nilai
ajaran Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental dengan
nuansa islaminya.
Nyadran (Jawa)
dengan ziarah kubur (Islam) merupakan dua ekspresi kultural- keagamaan yang
memiliki kesamaan dan juga perbedaan. Kesamaannya adalah dalam ritus dan
objeknya, sedangkan perbedaannya terletak pada pelaksanaannya, di mana nyadran
biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, serta
pelaksanaannya dilakukan secara kolektif. Sedangkan ziarah kubur dapat
dilaksanakan siapa saja dan kapan saja tanpa terikat waktu dan aturan pihak
yang memiliki otoritas daerah.
Kearifan
Lokal
Ritus nyadran merupakan salah satu bentuk pelestarian
warisan tradisi dan budaya nenek moyang yang telah
mengakar kuat dikalangan masyarakat Jawa. Dalam prosesnya nyadran juga syarat
akan nilai-nilai kearifan lokal yang perlu untuk di jaga, dilestarikan dan juga
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Secara sosio-kultural
kearifan lokal yang nampak dalam implementasi dari ritus nyadran bukan hanya sebatas
membersihkan makam-makam leluhur, tabur bunga, selamatan (kenduri), membuat ingkung,
kue apem, tumpeng, jajan pasar, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus
landasan ritual doa. Yang paling penting nyadran merupakan wahana silaturahmi
keluarga, masyarakat dalam satu daerah sekaligus menjadi transformasi sosial,
budaya, dan keagamaan.
Oleh sebab itulah budaya
masyarakat yang sedemikian melekat erat akhirnya menjadikan masyarakat Jawa
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan tersebut. Dengan
demikian tidak mengherankan kalau pelaksanaan nyadran masih kental dengan nuansa
dan budaya Hindhu-Buddha serta animisme yang kemudian diakulturasikan dengan
nilai-nilai ajaran Islam. Itu semua merupakan satu bentuk pelestarian budaya
nenek moyang yang masih dipertahankan serta masih dijalankan dengan berbagai cara
dan model yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi sosio-kultural daerah masing-masing.
Dalam perkembangannya
prosesi nyadran memang tidak hanya dilakukan di area pemakaman saja. Saat ini
nyadran banyak dilakukan di masjid-masjid maupun balai desa. Namun, meskipun
tempatnya berbeda akan tetapi kebiasaan untuk bersih-bersih makam leluhur,
ziarah, serta membuat segala perlengkapan nyadran tetap tidak ditinggalkan.
Paling tidak pelaksanaan
nyadran dapat melahirkan kesalehan sosial diantaranya adalah: pertama, budaya gotong-royong, solidaritas,
dan kebersamaan. Hal itu dapat dilihat dari kebersaamaan masyarakat dalam
membersihkan makam leluhur, kemudian melakukan ritual ziarah kubur secara
bersama-sama. Kedua, ungkapan rasa syukur
dengan bersedekah. Hal ini diwujuddkan dengan membuat berbagai macam jenis
makanan dan berbagai jajanan yang nantinya akan dibagikan kepada sanak saudara
maupun akan dimakan secara bersama-sama dalam acara puncak nyadran.
Ketiga, menghargai
jasa-jasa leluhur. Budaya nyadran sebenarnya merupakan sebuah upaya untuk
menghargai segala jasa yang telah diberikan oleh para leluhur kepada keluarga,
masyarakat dan bangsa ini. Penghargaan tersebut diwujudkan dengan cara
membersihkan tempat peristirahatn terakhir sekaligus mendoakan para leluhur
agar apa yang telah dilakukan semasa hidupnya di ridhoi Tuhan.
Keempat,
nyadran sebagai sarana mempererat tali silaturrahmi. Dalam konteks sosial dan
budaya, nyadran merupakan wahana dan medium perekat kehidupan sosial, sarana
membangun jati diri bangsa, dan nasionalisme. Karena dalam prosesi ritual dan tradisi
nyadran kita akan dapat berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas dan
status sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun partai
politik.
Kesalehan sosial yang
dibangun dalam budaya nyadran pada akhirnya akan menghasilkan sebuah tata
hubungan vertikal-horizontal. Dalam konteks yang lebih nyata, nyadran akan
dapat meningkatkan pola hubungan seseorang dengan Tuhannya dan juga dengan masyarakat
(sosial). Sehingga dari sana diharapkan akan mampu meningkatkan pola pengembangan
kebudayaan serta dapat menciptakan kehidupan sosial yang lebih harmonis.
Dalam hal ini ritus nyadran
diharapkan akan mampu menjadi ajang interaksi sosial masyarakat agar lebih saling
menghargai, mengasihi dan menyayangi satu sama lain. Budaya gotong-royong,
solidaritas dan kerjasama juga harus senantiasa dilestarikan. Nuansa harmonis, kedamaian,
humanitas serta familiar dalam budaya nyadran harus dibangun dan dikembangkan
dalam zaman modern ini. Jika hal itu terwujud maka kehidupan masyarakat Indonesia
akan benar-benar damai dan tentram.
Nyadran dalam konteks modern
saat ini telah menjadi wisata rohani individu, keluarga maupun kelompok
masyarakat di tengah kesibukan sehari-hari. Masyarakat yang senantiasa disibukkan
dengan aktivitas kerja terkadang menjadi lupa dan mengabaikan kehidupan religiusnya.
Melalui ritus nyadran inilah kita semua coba diajak untuk kembali bersentuhan
dan bercengkrama dengan nilai-nilai budaya dan agama untuk lebih mendekatkan
diri kepada Tuhan.
Post a Comment